Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang palng sering terdampak gempa bumi. Baik itu gempa bumi vulkanik dari aktivitas gunung berapi, maupun gempa bumi tektonik dari aktivitas lempeng bawah tanah.
Menurut Bedan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tercatat ada sebanyak enam subduksi atau penujaman lempeng di Indonesia. Kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, keenam subduksi itu dapat dirinci kembali menjadi 16 segmen megatrust.
Megatrust ini, kata Daryono berpotensi untuk memicu gempa besar di atas 7 magnitudo. "Bisa memicu gempa besar di atas 7 magnitudo. Ini kenyataan kondisi tektonika Indonesia," papar Daryono di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta Timur, Rabu (31/7/2019).
Selain itu, Indonesia juga memiliki bagian banyak sesar aktif yang sewaktu-waktu dapat bergerak. Dari sekian banyak sesar aktif tersebut, sebagiannya berada di daratan.
Sesar aktif yang berbeda di daratan ini jika bergerak akan menimbulkan efek goncangan yang cukup signifikan. Bahkan cenderung bersifat destruktif atau merusak.
Kata Daryono sesar di Indonesia bersifat aktif dan juga kompleks. "Aktif artinya gempa terus terjadi, sedangkan kompleks karena memang banyak sekali sumber gempanya," jelas Daryono.
Meskipun realitasnyan banyak wilayah di Indonesia yang rawan akan gempa. Namun kata Daryono bukan berarti masyarakat Indonesia tidak bisa tinggal dengan aman di wilayah-wilayah yang memiliki potensi akan gempa bumi.
Daryono berkaca pada Amerika Serikat dan Jepang. Di dua negara itu juga rawam akan gempa bumi. Bagi di Amerika terutama di wilayah Pantai Barat yakni lempengan San Andreas.
"Di Amerika ada (lempeng) San Andreas tapi saat gempa kemarin tidak banyak yang meninggal," kata Daryono.
Menurut Daryono, minimnya korban jiwa saat gempa bumi di Amerika dikarenakan budaya mitigasi bencana di sana telah berakar kuat.
"Jepang itu tidak ada yang aman gempa semuanya ada sesar aktif, tetapi pembangunan maju, ekonomi manju karena mereka mampu mengelola resiko (bencana) dengan baik," katanya.
Sama Halnya New Zealand
Tak berbeda dengan New Zealand, negara ujung selatan benua Australia ini juga kerap dilanda gempa dengan kekuatan di atas 7 magnitudo. Namun jumlah korban jiwa maupun kerusakan bangunan amat mini.
"Rumahnya kokoh, rumahnya standar gempa sehingga (tingga di daerah rawan gempa) tidak menjadi menakutkan," tegas Daryono.
Daryono kembali menegaskan bahwa tinggal di daerah rawan gempa bukan berarti membut kita tidak merasa khwatir. Tetapi dengan upaya mitigasi yang maksimal, kata Daryono, kita bisa menanggulangi potensi bencana tersebut dengan baik.
"Maka di tengah ketidakpastian kapan terjadinya (gempa) kita harus mempersiapkan mitigasi. Dalam hal ini adalah mitigasi struktural," tegas Daryono.
Mitigasi struktural, kata Daryono, ialah mitigasi berbasis pada upaya pencegahan dengan memperkuat bangunan penduduk supaya tahan gempa. "Kalau tidak kuat maka kita bangun bangunan yang ringan bahannya baik dari kayu atau pun dari bambu. Kita juga harus melakukan pemahaman bagaimana cara selamat pada saat terjadi gempa bumi," tandas Daryono.