Liputan6.com, Konawe - Kerap terjadi binatang liar seperti buaya dan ular memangsa manusia di wilayah Sulawesi Tenggara. Dimulai dari kasus ular piton menelan seorang lansia di Kabupaten Muna pada 2018, kemudian serangan ular, dan buaya hingga akhir 2019.
Terbaru, dua perempuan tewas diterkam buaya muara di Konawe Utara pada 26 dan 27 Desember 2019. Lalu disusul seorang pria kembali diterkam buaya di Sungai Tetenggabo, Kecamatan Sabulakoa, Kabupaten Konawe Selatan, Sabtu (28/12/2019).
Beruntung nyawanya selamat, korban bernama Rasmin mengalami luka gigitan di kaki kanannya. Korban langsung dilarikan di rumah sakit dan mendapat pertolongan medis.
Melihat kasus serangan buaya dan ular di Sulawesi Tenggara, pengamat menyatakan ada hubungannya dengan kerusakan hutan. Contoh, kasus ular piton memangsa Wa Tiba (54), petani di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.
Kalangan akademisi dan aktivis lingkungan menyatakan habitat ular terganggu. Penyebabnya, wilayah hutan yang terkikis sehingga rantai makanan terganggu.
Wilayah Kabupaten Muna, awalnya memiliki wilayah hutan jati berusia seratus tahun lebih dan kayu campuran yang lebat. Namun, nyaris habis usai pembalakan liar marak di wilayah itu pada awal tahun 2000 hingga 2010.
Apalagi, habitat ular piton mendiami wilayah bebatuan karst yang mendominasi struktur permukaan Pulau Muna. Menjadikan hewan melata itu, kesulitan mendapatkan makanan utamanya saat wilayah hutan sudah menipis.
Sedangkan di wilayah Konawe Utara dan Selatan, dampak alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang, nampak di depan mata. Air sungai dan perairan sekitar bibir pantai berwarna merah keruh saat hujan dan musim panas.
Pengamat lingkungan dan akademisi Kampus Universitas Halu Oleo (UHO), Nur Arafah menyatakan, buaya meskipun predator tetapi makanannya bukan manusia. Namun, hewan-hewan yang lebih kecil seperti ikan, babi atau ayam hutan.
"Jika hewan liar tidak lagi memakan makanannya, maka ada proses lingkungan yang sudah terganggu dalam rantai makanan," ujar Nur Arafah.
Dikatakan dosen lingkungan itu, buaya memangsa manusia karena ada kemungkinan habitat yang terganggu. Perubahan makanan, bisa juga disebabkan lingkungan yang tidak nyaman.
"Justru nanti pada saat hari ini, kita sering melihat terjadi buaya makan manusia. Berarti ada yang salah dengan makanan mereka," ujar Arafah.
Diketahui, ada 5 kasus kemunculan buaya di Sulawesi Tenggara selama lima hari berturut-turut. Tiga kali terjadi serangan, dua di antaranya korban serangan tewas dan satu luka-luka. Dua kasus lainnya, buaya yang muncul di wilayah Konawe Utara dan Kabupaten Muna berhasil diamankan warga.
Muncul Tiba-tiba
Serangan buaya di Konawe Utara dan Konawe Selatan, tidak pernah warga diduga sebelumnya. Warga di sana kebanyakan hanya mendengar, tak pernah melihat buaya secara langsung.
Korban terkaman buaya, rata-rata disergap tiba-tiba. Korban pertama, seorang ibu rumah tangga di wilayah Sungai Lalindu Desa Sambandete Kecamatan Oheo, Kamis (26/12/2019), sekitar pukul 09.35 Wita.
Korban diketahui bernama Rugaya, seorang ibu rumah tangga. Ia diterkam buaya di depan mata anaknya. Saat itu, korban sedang buang air besar di sungai.
Ditemukan pada sore hari, korban sudah tak bernyawa dan di tubuhnya ada luka-luka. Kaki kanan korban ditemukan putus saat dievakuasi sekitar 2 kilometer dari lokasi dia diserang.
Kejadian kedua, terjadi di Sungai Tapuusuli, Desa Tapuusuli, Kecamatan Andowia. Saat itu, Jumat (27/12/2019), Ema (40) seorang perempuan kembali dimangsa seekor buaya.
Dia juga dimangsa di depan anaknya ketika keduanya mencari kerang sungai. Sebelum diterkam dan menghilang di dalam air, korban sedang berada ditepi sungai.
Saat disuruh naik oleh anaknya, korban itu terlambat keluar dari dalam sungai. Hanya sekitar beberapa detik, buaya langsung menerkam kepala ibunya. Jasad korban belum ditemukan sampai hari ini, hanya ada beberapa bagian tubuh korban yang sudah terpisah-pisah, saat ditemukan tim pencari.
Kepala Kantor SAR Kendari, Djunaidi menyatakan, kedua korban tinggal di pesisir sungai. Saat itu, berbekal keterangan saksi, timnya turun di lokasi melakukan evakuasi penyelamatan.
"Rata-rata korban diserang saat lengah. Saat di lapangan, kami berkoordinasi dengan semua unsur terkait, termasuk TNI, Polri, BPBD dan BKSDA," ujar Djunaidi.
Beruntung, salah seorang korban berhasil selamat dari terkaman buaya di Konawe Selatan, Sabtu (28/12/2019). Pria bernama Rasmin (42), terkena gigitan buaya pada kakinya saat sedang memasang jaring ikan namun berhasil menyelamatkan diri.
Kapolsek Landono,Iptu Agus Darmanto membenarkan soal seranhgan buaya. Korban kemudian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.
Lingkungan Rusak
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara menyatakan, sejak 2010 hingga juli 2019 telah tampak kerusakan hutan di wilayah Sulawesi Tenggara. Diketahui, ada sekitar 471.000 ribu hektare hutan di sana.
Sudah sembilan tahun sejak 2010, 42.390 hektare hutan hilang karena ulah manusia. Ribuan hektare lainnya, mengalami fase kritis.
Dari total kerusakan hutan dan kritis, tambang dan perkebunan berkontribusi sekitar 78 persen. Sedangkan sisanya, disebabkan masyarakat membuka lahan perkebunan baru.
"Ini semua harus menjadi perhatian pemerintah dan pihak terkait, jangan hanya menambang dan berkebun saja. Tapi, pikirkan dampak dan segera ambil tindakan untuk terhindar dari dampak yang lebih besar," ujar Ketua Walhi Sulawesi Tenggara, Saharudin.
Dia menyatakan, jika tidak ada langkah cepat dan tepat, Sultra tinggal tunggu waktu saja untuk ada bencana susulan. Apakah banjir atau longsor, yang jelas ancaman lebih besar.
Nur Arafah, pemerhati lingkungan mengatakan, sebenarnya melihat indikator kerusakan lingkungan itu paling gampang. Jika tempat wilayah kemunculan hewan liar adalah beraktivitas masyarakat sejak dulu, kemudian ada buaya memakan manusia, berarti menunjukkan ada migrasi buaya.
"Kenapa migrasi buaya berarti habitat awalnya tergangu, kenapa habitat awal tergangggu, artinya ada perubahan lingkungan. Kenapa ada perubahan berarti ada perubahan struktur alam. Misalnya soal perizinan tambang dan perkebunan dan pembukaan lahan baru pertanian warga," jelasnya.
Menentukan indikator kerusakan lingkungan, menurutnya gampang. Kalau dulu tak ada masalah sekarang ada maka itu berarti rusak. Dia mencontohkan, jika dulunya tak banjir sekarang setiap hujan deras pasti banjir.
"Jika vegetasi alam masih bagus, lalu terjadi banjir maka air tak mungkin keruh secara berkepanjangan.
Kemudian lihat apakah di sana ketika banjir, terjadi lumpur, ketika itu terjadi maka ada perubahan masif di wilayah hulu," dia memungkasi.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
No comments:
Post a Comment