Liputan6.com, Washington - Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi Amerika Serikat memiliki kebijakan baru berkenaan pemeriksaan calon pendatang asing. Aturan baru itu memungkinkan petugas untuk menggunakan akun media sosial fiktif guna memantau informasi terkait orang-orang non-Amerika yang ingin datang ke Negri Paman Sam.
Dikutip dari Associated Press (AP), Sabtu (31/8/2019) sebelumnya petugas dilarang untuk membuat profil palsu, namun aturan ini diperbarui oleh Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS) per Juli 2019.
Pernyataan USCIS menjelaskan mengenai perubahan tersebut, mereka mengatakan akun palsu dan identitas akan memudahkan penyelidik untuk mencari bukti potensial kecurangan atau masalah keamanan ketika mereka memutuskan apakah akan mengizinkan seseorang masuk ke Amerika Serikat.
Setelah kebijakan ini diambil, permohonan visa Amerika Serikat mengharuskan menyerahkan nama pengguna media sosial mereka. Hal ini karena keinginan Trump untuk meningkatkan penyaringan calon imigran dan pengunjung ilegal.
Tidak jelas persis bagaimana pembuatan akun media sosial palsu akan bekerja mengingat kebijakan platform seperti Facebook dan Twitter, yang keduanya secara khusus menyatakan bahwa peniruan - berpura-pura menjadi orang lain selain diri Anda sendiri - melanggar ketentuan penggunaan mereka.
Lebih jelasnya lagi, Twitter dan Facebook baru-baru ini menutup banyak akun yang diyakini dioperasikan oleh pemerintah China menggunakan platform mereka di bawah identitas palsu untuk operasi informasi.
"Sebuah pelanggaran bila menggunakan kepribadian palsu dan menggunakan data Twitter untuk pengawasan individu secara terus-menerus. Kami berharap dapat memahami praktik yang diusulkan USCIS untuk menentukan apakah praktik tersebut konsisten dengan persyaratan layanan kami," sebut pihak Twitter.
Mengundang Pro dan Kontra
Tinjauan media sosial semacam itu akan dilakukan oleh petugas di Deteksi Penipuan badan dan Direktorat Keamanan Nasional pada kasus-kasus yang ditandai sebagai kebutuhan penyelidikan lebih lanjut. Demi menjaga privasi, petugas hanya dapat meninjau media sosial yang tersedia untuk umum, mereka tidak dapat "berteman" atau "mengikuti" seseorang dan harus menjalani pelatihan tahunan.
Para petugas juga tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan pengguna di situs media sosial dan hanya dapat secara pasif meninjau informasi, menurut dokumen DHS.
Seorang peneliti investigasi senior untuk kelompok advokasi kebebasan sipil Electronic Frontier Foundation, Dave Maass mengatakan bahwa penggunaan akun palsu seperti itu "melemahkan kepercayaan kami pada perusahaan media sosial dan kemampuan kami untuk berkomunikasi dan mengatur dan tetap berhubungan dengan orang-orang."
Seorang pensiunan agen FBI dan seorang rekan di Program Kebebasan dan Keamanan Nasional Brennan Centre, Mike German mengatakan bahwa penting bagi pedoman yang kuat untuk diterapkan dan bagi anggota parlemen untuk mengajukan banyak pertanyaan untuk memastikan tidak ada pelanggaran.
"Hal seperti ini harusnya hanya dilakukan dikasus di mana benar-benar dibutuhkan. Menghindari penyalah gunaan," Ujar Mike.
Reporter: Windy Febriana
No comments:
Post a Comment