Liputan6.com, Jakarta - Delegasi Indonesia yang diketuai Direktur Jenderal Perhubungan Laut R Agus H Purnomo terus mempromosikan pencapaian dan kemajuan sektor maritim Indonesia kepada negara-negara anggota International Maritime Organization (IMO) atau Organisasi Maritim Internasional di London beberapa waktu lalu.
Agus mengatakan, salah satu pencapaian yang diangkat adalah sektor pelabuhan yang terus berbenah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan meningkatkan kemampuan agar bisa melayani perdagangan internasional serta mampu disandari oleh kapal berukuran raksasa.
"Sektor kepelabuhanan terus berbenah, pemanfaatan teknologi informasi inaportnet terus diterapkan di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia untuk menurunkan biaya logistik sehingga akan meningkatkan daya saing dengan negara lain," ujar dia, Sabtu (30/11/2019).
Dia menyatakan bahwa Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, terus didatangi kapal-kapal raksasa pengangkut kontainer kelas dunia.
"Pelabuhan utama di Indonesia sudah mampu disandari kapal-kapal bermuatan besar dan bisa langsung melakukan bongkar muat di Indonesia tanpa melewati negara tetangga," kata dia.
Sebelumnya, karena tidak bisa langsung bersandar di RI, kapal-kapal raksasa dengan berbagai muatan dari seluruh dunia harus bersandar di Singapura. Setelah tiba di Singapura, muatan kontainer di kapal kemudian disebarkan ke negara-negara sekitar Singapura.
Namun, dengan dimungkinkannya kapal raksasa bersandar langsung di RI, maka lalu lintas barang dari berbagai negara yang punya hubungan dagang dengan Indonesia bisa bersadar dengan rute langsung tanpa perlu lagi mampir di Singapura. Biaya logistik pun bisa dihemat dan menguntungkan pelaku industri di Indonesia.
"Dengan demikian, sektor perdagangan internasional akan terus meningkat, dengan biaya yang kompetitif dan transparan, pelabuhan di Indonesia bisa disejajarkan dengan pelabuhan di negara lain. Yang diperlukan adalah kemauan dan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik dan mempunyai posisi yang kuat di peta maritim dunia," tutur Agus.
Ini Deretan Alasan Penentuan Batas Maritim Butuh Ratusan Tahun
Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) Agung Kuswandono menyatakan, menyelesaikan satu perjanjian batas maritim butuh waktu yang lama. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Dalam acara Focus Group Discussion Delimitasi Batas Maritim di Jakarta, Selasa (08/10/2019), Guru Besar Hukum Internasional Undip, Prof. Dr. Eddy Pratomo menyatakan ada beberapa faktor penghambat penyelesaian perjanjian batas maritim antar negara.
Pertama, dari segi objektif bisa terjadi masalah teknis seperti kondisi geografis area yang berubah.
"Di Indonesia, kita punya daerah yang batas daratnya ditentukan dari pasang surutnya air laut, yaitu Kabupaten Nunukan. Kamar tidurnya bisa ada di Indonesia, sementara dapurnya ada di Malaysia. Itu juga jadi pertimbangan," ujar Eddy.
Selain itu, kondisi internal suatu negara juga berpengaruh, misalnya terdapat pergantian pemimpin atau kebijakan. Lalu, adanya perbedaan terjemahan aspek teknis, misalnya tata cara mengukur garis tengah (median line) atau perbedaan prinsip batas maritim antar negara.
"Indonesia sendiri menganut prinsip 2 garis, yaitu garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan garis landasan kontinental (LK) yang berbeda. Tapi, sebagian negara tetangga menganut prinsip satu garis, jadi ZEE dan LK sama. Ini juga bikin bentrok," lanjutnya.
Meskipun berbeda, penerapan prinsip ini dinilai sesuai dengan hukum laut UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
"Isinya, kan, berbeda, ZEE isinya laut, ikan-ikanan dan yang ada di dalam laut, sedangkan LK kan minyak bumi, hasil tambang. Tentu harusnya beda (batas garisnya)" jelas Eddy.
Tak hanya itu, perbedaan mandat (dari Presiden), perbedaan sifat dan perilaku hingga suasana hati negosiator dari sisi subjektif saat berunding juga turut berpengaruh.
"Oleh karenanya, saat berunding, negosiator harus bisa menjernihkan pikiran dan fokus pada solusi dengan sebaik-baiknya," tutup Eddy.
No comments:
Post a Comment